Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang
telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa
jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak.
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak.
Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang
telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya
dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.
Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah
yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga
bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak
Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak
untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari
pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.
Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual
lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang
yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status
janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka
diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih
untuk tidak menikah lagi.
Melaksanakan upacara tiwah bukan pekerjaan mudah. Diperlukan persiapan panjang
dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian
prosesi tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari nonstop, bahkan
bisa sampai satu bulan lebih lamanya.
Upacara tiwah yang digelar keluarga Ari Dewar, anggota DPRD Kotawaringin
(Kotim) ini, misalnya. Mereka menyelenggarakan hingga 30 hari lamanya dan
mengeluarkan biaya mencapai hampir satu miliar. Tiwah dilaksanakan untuk
almarhum ayahandanya Dewar I A Bajik yang meninggal sekitar 12 tahun silam,
sang paman Simon Mantir, serta 21 orang jenazah kerabat mereka yang
diikutsertakan dalam upacara yang saat ini masih berjalan.
“Saya dan saudara saya Alfian O Dampa yang menanggung seluruh biaya tiwah ini,
sebab tidak semua orang Kaharingan mampu melaksanakan tiwah. Tiwah ini sifatnya
wajib dilaksanakan, sebab sebelum orang yang meninggal dunia ditiwah, maka ia
belum bisa masuk ke dalam surga. Ini kepercayaan penganut Agama Kaharingan,”
terang Ari Dewar.
Tiwah yang diselenggarakan keluarga Ari Dewar di tempat kelahirannya di Desa
Rubung Buyung, Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotim ini sudah berlangsung sejak
minggu kedua Bulan November lalu. Puncaknya pada tanggal 11 Desember 2010
mendatang.
Menurut dia, keluarga yang masih hidup adalah orang yang bertanggung jawab dan
berkewajiban mengadakan upacara tiwah. Ritual ini juga sebagai bukti kecintaan
mereka terhadap leluhur.
“Siapa lagi yang akan menghantarkan leluhur agar bisa masuk surga kalau bukan
keluarga yang masih hidup. Ini menurut ajaran Agama Kaharingan yang dianut
almarhum orangtua saya,” kata Ari Dewar yang saat ini sebenarnya tidak lagi
menganut kepercayaan Kaharingan, agama leluhurnya.
Dia mengaku telah berkonsultasi dengan para guru agama seperti ustaz dan kiai
di Banjarmasin. Setelah diizinkan barulah berani menggelar upacara adat tiwah.
Ini bentuk penghormatan terhadap leluhur, termasuk ayahnya. Sebab, tiwah
merupakan upacara adat asli suku Dayak, sukunya sejak lahir.
“Ritual ini sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun silam, jadi perlu
dilestarikan. Mengangkat kerangka orang yang sudah meninggal kemudian
menaruhnya di dalam sandung atau rumah kecil dengan tidak menyentuh tanah,”
jelas Ari Dewar.
Osoh T Agan, pisor atau pemimpin ritual tiwah menjelaskan, ritual tiwah
merupakan rukun kematian tingkat terakhir yang waktu pelaksanaannya tidak
ditentukan. Bisa dilaksanakan kapan saja sesuai kesiapan keluarga yang
ditinggalkan.
Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang
dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah
kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga.
Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia
tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu
dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang
masih hidup menggelar upacara tiwah.
“Bisa juga dikatakan Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci manusia
tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam itulah orang yang meninggal dunia
menunggu sebelum diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah,” terang
pemuka Agama Kaharingan dari Kota Palangka Raya ini.
Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali
dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun,
sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau,
sapi, dan babi.
Dikutip dari Ainut Tijar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar