1. Asal Usul
Cerita panjang yang melatar belakangi munculnya
pertapaan Bukit Batu tersebut diawali dengan kisah seorang penduduk desa
Tumbang Liting yang bernama Burut Ules. Ia seorang yang bakaji [1].
Pada suatu hari, seorang diri ia pergi menuju ke suatu tempat untuk membuka
lahan perladangan. Tanpa kawan, ia kerja keras, membabat hutan, membangun
pondok untuk tempat beristirahat, tanpa melupakan tradisi leluhurnya yaitu
memohon izin terlebih dahulu kepada segala mahluk yang tidak terlihat oleh mata
jasmani, penunggu daerah tersebut.
Suatu siang ketika Burut Ules merasa lelah,
beristirahatlah ia sejenak di bawah sebuah pohon rindang yang tinggi dan telah
berusia ratusan tahun. Dengan posisi tiduran sambil berbantalkan tangan,
matanya menerawang jauh ke depan. Matahari bersinar terik, namun karenaberada
di rimba raya, sepoi-sepoi angin menyentuh lembut kulitnya, sejuk terasa,
dan kantuk mulai datang menyerang. Akan tetapi ketika Burut Ules nyaris
terlelap, ia terperanjat dan langsung melompat bangkit.
Dilihatnya tujuh perempuan cantik yang sangat menawan
turun dari langit langsung menuju telaga yang ada didekatnya. Saat itu hujan
rintik-rintik namun matahari masih bersinar dengan teriknya. Menyaksikan hal
tersebut dengan mengendap-ngendap Burut Ules mendekati telaga. Sambil
bersembunyi ia mengintip rombongan kecil tersebut. Gadis-gadis itu langsung
membuka pakaian, besaluka[2] tanpa
penutup dada, dan terjun berenang, ceria, penuh tawa canda nan
meriah.
Burut Ules terpana, mata tak berkedip menyaksikan
pemandangan itu. Salah seorang yang nampak paling muda dalam kelompok itu,
gerak geriknya membuat Burut Ules sangat terpesona. Tanpa sepengetahuan si
gadis, matanya menatap tajam ke arah sang dara. Saat itu juga Burut Ules
langsung jatuh cinta.
Setelah puas mandi dan berenang, kelompok kecil itu
naik ke darat, kembali berpakaian dan melompat ke angkasa menuju langit.
Sejak saat itu Burut Ules menjadi susah, resah, gelisah. Ia sangat menyesali
dirinya mengapa pada saat itu tidak langsung memeluk si perempuan bungsu yang
sedang mengenakan pakaiannya seusai mandi, padahal jarak antara mereka tidak jauh.
Rasa sesal tersebut sangat menderanya hingga tidur tak nyenyak makan pun ia tak
kenyang.
Suatu hari ketika matahari sedang bersinar terik dan
turun hujan rintik-rintik, bergegas Burut Ules ke semak-semak menunggu dan
mengamati telaga tempat idaman hatinya mandi. Usaha dan penantiannya tidak
sia-sia, tidak lama kemudian di angkasa terlihat buah hatinya dengan
saudara-saudaranya menukik menuju telaga. Menyaksikan hal tersebut, jantung
Burut Ules nyaris copot. Pelan-pelan Burut Ules menarik nafas panjang untuk
menenangkan diri.
Kemudian Burut Ules melihat adegan ulangan yang
pernah ia saksikan. Ketujuh dara yang baru tiba langsung membuka pakaian,
dengan ceria terjun ke telaga, mandi sambil berenang, penuh tawa ria. Namun
ketika mereka menginjak tanah kembali untuk berpakaian, ketika itu pula Burut
Ules mendadak muncul diantara mereka dan serta merta memeluk buah hatinya. Kepanikan
pun terjadi, kelompok kecil tersebut tergesa-gesa memakai pakaiannya
masing-masing langsung lompat menuju langit dengan meninggalkan si adik bungsu
yang ketakutan dalam pelukan erat Burut Ules.
Ketika semua kakaknya telah pergi meninggalkannya, si
bungsu berkata kepada Burut Ules: “Mengapa aku kau sekap? Apa salahku? Dan apa
maumu? Bila kau ingin membunuhku, silahkan bunuh aku, aku tak akan melawan”.
Burut Ules tak mampu menjawab pertanyaan beruntun itu,
ia hanya menjawab singkat, bahwa ia mencintai dan ingin menikahinya. Si bungsu
langsung membalas pelukan Burut Ules dan resmilah mereka menjadi suami isteri.
Selanjutnya Burut Ules sibuk menyembunyikan pakaian
yang pernah dipakai oleh isterinya saat pertama mereka bertemu. Ia khawatir
isterinya akan meninggalkannya apabila pakaian tersebut dipakai lagi oleh
isterinya. Untuk selanjutnya pakaian baru yang terbuat dari kulit kayu, yang ia
berikan kepada isterinya. Singkat cerita, isteri Burut Ules hamil dan lahirlah
seorang anak laki-laki yang diberi nama...[3].
Burut Ules hidup bahagia bersama anak dan isterinya.
Suatu hari muncul seorang pemuda, mamut
menteng, hitam, tinggi besar mengunjungi keluarga itu. Isteri Burut Ules
mengenalkan kepada suaminya bahwa pemuda tersebut adalah salah seorang
saudaranya yang datang untuk mengunjungi mereka. Burut Ules menerima kehadiran
pemuda tersebut dengan baik, bahkan pemuda itu diizinkan turut menginap di
rumahnya.
Namun, lama kelamaan Burut Ules merasa curiga karena
setiap mandi di telaga, mereka selalu pergi berdua, berenang ceria, dan hanya
berdua. Anak mereka yang masih bayi ditinggal begitu saja di gubuk. Rasa
cemburu mulai muncul, namun apabila Burut Ules menanyakan hal tersebut,
isterinya selalu memberikan jawaban yang sama, bahwa pemuda tersebut benar
saudaranya.
Teguran untuk mandi renang berdua di telaga telah
diberikan, namun acara renang bersama tetap juga berlanjut. Timbul kemarahan
Burut Ules.
Suatu hari, pada saat yang tepat, Burut Ules menikam
pemuda hitam tinggi besar tersebut dengan tombak hingga tewas dan seketika
jasadnya gaib. Sekalipun tombak yang dipakai untuk membunuh telah
disembunyikan, namun hal itu diketahui juga oleh isterinya.
Ketika Burut Ules pulang ke rumah, dijumpainya
isterinya berdiri di hejan[4] sambil
menggendong anak lelaki mereka satu-satunya. Ketika melihat Burut Ules
datang, dengan nada penuh duka isterinya mengatakan bahwa ia sangat sedih
dan kecewa karena suaminya tidak lagi mempercayainya bahkan tega membunuh
saudaranya. Oleh karena itu ia bertekad untuk pulang ketempat asalnya dengan
membawa serta putra mereka.
Sebelum pergi, masih sempat isterinya berpesan bahwa
kelak dikemudian hari apabila anak turunan Burut Ules membutuhkan bantuannya,
maka anak semata wayang mereka akan selalu siap membantu. Dikatakan pula bahwa
kelak apabila anak mereka telah dewasa, ia tidak dapat hidup dan berdiam di
alam dimana ibunya berada karena ayah dan ibunya berasal dari alam yang
berbeda. Oleh karena itu apabila anak mereka telah dewasa, ia akan kembali ke
alam ayahnya. Setelah berkata demikian anak dan ibu lenyap dari pandangan mata
Burut Ules dan Burut Ules menjadi sedih tak terhingga.
Sesal kemudian tak berguna. Burut Ules mencoba bangkit
dari kesedihannya. Hari-harinya ia habiskan untuk kerja keras, letih tidur dan
kerja lagi, kerja, kerja, dan terus bekerja. Begitu seluruh waktunya ia lalui
untuk bekerja mengurus ladang, menangkap ikan, dan banyak kegiatan lain yang ia
lakukan.
Waktu berlalu, sedikit demi sedikit Burut Ules mampu
bangkit kembali dari kesedihan akibat ditinggal pergi oleh isteri dan anaknya.
Kemudian kawinlah ia dengan anak Kutat. Dari perkawinan ini lahirlah dua orang
anak, seorang laki-laki dan seorang perempuan. Diyakini bahwa hingga kini Burut
Ules tidak pernah meninggal dunia tetapi gaib ke alam lain.
Suatu hari di Teluk Derep, Tumbang Kasongan, terdengar
suara gemuruh halilintar memekakkan telinga. Petir kilat sambar menyambar. Saat
itu sebuah batu besar diturunkan dari langit. Diyakini bahwa
anak Burut Ules yang telah gaib bersama isteri pertamanya, saat itu telah
dewasa. Sesuai janji, apabila telah dewasa ia akan kembali ke alam
tempat bapaknya bertempat tinggal, maka janji itu telah ditepati. Batu yang
diturunkan dari langit yang kemudian terkenal dengan nama Bukit Batu diyakini
sebagai tempat kediamannya, walau tak terlihat dengan mata jasmani, namun ia
ada di sana sebagai Raja dan penguasa daerah tersebut.
2. Pertapaan Tjilik Riwut
Riwut Dahiang yang bertempat tinggal di daerah Sungai
Sala, sangat mendambakan anak laki-laki. Keinginan tersebut demikian kuat dan
mendalam. Walau berkali-kali Piai Riwut isterinya telah melahirkan anak, namun
apabila anak laki-laki yang lahir, selalu saja meninggal dunia dalam usia
balita. Keinginan yang sedemikian kuat membawa Riwut Dahiang bermohon dengan
khusuk kepada Hatalla[5].
Maka pergilah ia menuju ke suatu tempat keramat yaitu Bukit Batu.
Di tempat itu Riwut Dahiang balampah[6] dan
bermohon untuk diberikan seorang putera laki-laki. Wangsit yang diperoleh
menyatakan bahwa kelak di kemudian hari putra lelaki yang sangat didambakan itu
akan mengemban tugas khusus bagi masyarakat sukunya.
Tanggal 2 Pebruari 1918, anak laki-laki yang sangat
diharapkan lahir dengan selamat di sebuah kebun durian Kampung Katunen Kasongan
Kalimantan Tengah.
Sejak kecil oleh ayahnya, Tjilik Riwut sering diajak
ke Bukit Batu sehingga bagi Tjilik Riwut kecil tempat itu sudah tidak asing
lagi baginya. Setelah melampaui usia balita, ketika sedang bermain-main dengan
teman seusia, terkadang Tjilik Riwut begitu saja pergi meninggalkan
teman-temannya menuju Bukit Batu. Entah apa yang ia lakukan disana, tak seorang
pun tahu.
Ketika menginjak usia remaja, Tjilik Riwut mulai mengikuti
tradisi orang tuanya, pergilah Tjilik Riwut seorang diri menuju Bukit Batu. Di
Bukit Batu ia balampah. Wangsit pertama yang ia peroleh
mengarahkannya untuk menyeberang laut menuju pulau Jawa. Ketika itu komunikasi
dan transportasi dari pedalaman Kalimantan ke Jawa amatlah sulitnya. Dapat
dikatakan hanya impian. Jangankan ke pulau Jawa, menuju Banjarmasin yang juga
berada di pulau yang sama yaitu Kalimantan membutuhkan perjuangan.
Tjilik Riwut tak kenal putus asa, halangan dan
kesulitan yang menghadang ia anggap sebagai tantangan. Segala macam cara telah
ia lakukan baik berjalan kaki menerobos rimba, naik perahu dan rakit, asalkan
bisa mencapai pulau Jawa. Akhirnya sampai juga ia ke Banjarmasin. Singkat
cerita, ketika sampai di Banjarmasin, Tjilik Riwut berusaha mendapatkan
pekerjaan yang ada peluang untuk menghantarkannya ke Pulau Jawa.
Pada tahun 1942 di Banjarmasin, tengah malam ketika
semua orang sedang tidur, Tjilik Riwut bangun dari tidurnya dan langsung
membangunkan kawan-kawannya yang sedang terlelap tidur. Dengan begitu yakin
Tjilik Riwut mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa ayahndanya Riwut Dahiang
malam ini telah dipanggil Yang Kuasa.
Tentu saja semua kawan-kawannya terheran-heran, tak
satupun yang percaya bahkan mengira bahwa Tjilik Riwut sedang mimpi. Namun
dengan mantap dan penuh keyakinan sekali lagi ia mengatakan bahwa semua ini
benar karena penguasa Bukit Batu baru saja datang menemuinya menyampaikan
pesan tersebut dan mengatakan bahwa sejak saat itu Tjilik Riwut adalah teman
terdekatnya.
Tjilik Riwut meminta teman-temannya untuk mencatat
kejadian tersebut lengkap dengan tanggal dan jam terjadinya peristiwa.
Djainudin, Essel Djelau dan seorang teman lagi langsung mencatat walau tidak
begitu yakin bahwa apa yang dialami Tjilik Riwut tersebut benar terjadi. Untuk
mengecek kebenaran firasat tersebut hanya mungkin apabila ada seorang warga
yang berasal dari Kasongan datang ke Banjarmasin. Saat itu komunikasi tidak
semudah saat ini. Belum ada telepon, belum ada layanan pos, pengiriman berita
mungkin terjadi apabila ada kenalan yang datang dari kampung halaman.
Suatu hari ketika seorang kawan datang dari Kasongan
ke Banjarmasin, Tjilik Riwut bergegas menanyakan keadaan orang tuanya. Memang
benar pada saat firasat dirasakan, pada saat itulah ayah tercintanya pergi
menghadap ke hadirat Illahi.
Di masa Revolusi ketika Tjilik Riwut telah berhasil
mencapai pulau Jawa bahkan telah terlibat aktif dalam perjuangan menantang
Belanda, dalam suatu kesempatan ia pulang kampung dan balampah di
Bukit Batu. Ia mohon petunjuk dalam perjuangannya melawan penjajah. Dalam
kesempatan itupun Tjilik Riwut bernazar untuk tidak menikah sebelum Indonesia
merdeka[7].
Sesuatu ia peroleh begitu usai balampah yaitu sebuah batu berbentuk
daun telinga. Wangsit yang ia peroleh mengatakan bahwa batu tersebut dapat
digunakan untuk mendengarkan dan memonitor musuh apabila diletakkan pada daun
telinganya. Namun setelah kemerdekaan diperoleh oleh bangsa Indonesia, batu
telinga itu pun gaib.
Dikutip dari Maneser Panatau Tatu Hiang, Tjilik Riwut, pusaka Lima,
Palangka Raya, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar