Jumat, 10 Mei 2013

Sejarah Terbentuknya Kalimantan Tengah


Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya adalah Kota Palangka Raya. Kalimantan Tengah memiliki luas 157.983 km² dan berpenduduk sekitar 2.202.599 jiwa, yang terdiri atas 1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan (hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010).
Pada abad ke-14 Maharaja Suryanata, gubernur Majapahit memerintah di Kerajaan Negara Dipa (Amuntai) dengan wilayah mandalanya dari Tanjung Silat sampai Tanjung Puting dengan daerah-daerah yang disebut Sakai, yaitu daerah sungai Barito, Tabalong, Balangan, Pitap, Alai, Amandit, Labuan Amas, Biaju Kecil (Kapuas-Murung), Biaju Besar (Kahayan), Sebangau, Mendawai, Katingan, Sampit dan Pembuang yang kepala daerah-daerah tersebut disebut Mantri Sakai, sedangkan wilayah Kotawaringin pada masa itu merupakan kerajaan tersendiri.
Selanjutnya Kalimantan Tengah masih termasuk dalam wilayah Kesultanan Banjar, penerus Negara Dipa. Pada abad ke-16, berkuasalah Raja Maruhum Panambahan yang beristrikan Nyai Siti Biang Lawai, seorang puteri Dayak anak Patih Rumbih dari Biaju. Tentara Biaju kerapkali dilibatkan dalam revolusi di istana Banjar, bahkan dengan aksi pemotongan kepala (ngayau) misalnya saudara muda Nyai Biang Lawai bernama Panglima Sorang (Nanang Sarang) membantu Raja Maruhum menumpas pemberontakan anak-anak Kiai Di Podok, demikian juga di masa Pangeran Suryanata II (Sultan Agung). Raja Maruhum menugaskan Dipati Ngganding untuk memerintah di negeri Kotawaringin. Dipati Ngganding digantikan oleh menantunya, yaitu Pangeran Dipati Anta-Kasuma putra Raja Maruhum sebagai raja Kotawaringin yang pertama dengan gelar Ratu Kota Waringin. Pangeran Dipati Anta-Kasuma adalah suami dari Andin Juluk binti Dipati Ngganding dan Nyai Tapu binti Mantri Kahayan. Di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma menikahi wanita setempat dan memperoleh anak, yaitu Pangeran Amas dan Putri Lanting. Pangeran Amas yang bergelar Ratu Amas inilah yang menjadi raja Kotawaringin, penggantinya berlanjut hingga Raja Kotawaringin sekarang, yaitu Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah. Kontrak pertama Kotawaringin dengan VOC-Belanda terjadi pada tahun 1637. Menurut laporan Radermacher, pada tahun 1780 telah terdapat pemerintahan pribumi seperti Kyai Ingebai Suradi Raya kepala daerah Mendawai, Kyai Ingebai Sudi Ratu kepala daerah Sampit, Raden Jaya kepala daerah Pembuang dan kerajaan Kotawaringin dengan rajanya yang bergelar Ratu Kota Ringin.
Berdasarkan traktat 13 Agustus 1787, Sunan Nata Alam dari Banjarmasin menyerahkan daerah-daerah di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, sebagian Kalimantan Barat dan sebagian Kalimantan Selatan (termasuk Banjarmasin) kepada VOC, sedangkan Kesultanan Banjar sendiri dengan wilayahnya yang tersisa sepanjang daerah Kuin Utara, Martapura sampai Tamiang Layang dan Mengkatip menjadi daerah protektorat VOC, Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1826 Sultan Adam al-Watsiq Billah dari Banjar menegaskan kembali penyerahan wilayah Kalimantan Tengah beserta daerah-daerah lainnya kepada pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Selanjutnya kepala-kepala daerah di Kalimantan Tengah berada di bawah Hindia Belanda.
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, daerah-daerah di wilayah ini termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling menurut Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8. Daerah-daerah di Kalteng tergolang sebagai negara dependen dan distrik dalam Kesultanan Banjar.
Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan. Tahun 1520, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kesultanan Demak, agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1615 Kesultanan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman. Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah. Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC.
Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah Hindia Belanda membuka pelabuhan di Sampit. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman gugur sebagai kusuma bangsa di Sungai Menawing dan dimakamkan di Puruk Cahu. Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan perlawanan. Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda. Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa, ia berhasil membaptiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik. Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Surya Alam, karena orang Biaju (Ngaju) pendukung Sultan Agung (saingannya Sultan Surya Alam). Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.

Asal Mula Palangka Raya
Bahwa Penciptaan Jagat Raya adalah awal serta asal usul dari Karya RANYING HATALLA (Tuhan Yang Maha Esa) yang berkenaan dengan penciptaan manusia, cuplikan :
Disebutkan, nenek moyang berasal dari “alam atas” diturunkan ke bumi. Negeri asal dari alam atas (langit) bernama Lewu Nindan Tarung, sedangkan tempat mula pertama di bumi disebut bernama Lewu Pantai Danum Kalunen.
Tersebutlah pasangan suami-isteri (pasutri) Manyamei Tunggal Garing Janjahunan Laut – Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan (untuk selanjutnya nama pasutri itu disingkat dan disebut : sang suami Manyamei dan istri disebut Kameloh atau Putir / Putri saja.
Demikianlah pasutri Manyamei dan Putir/Kameloh berputra laki-laki semua kembar tiga, yang tertua bernama Maharaja Sangiang„ yang tengah bernama Maharaja Sangen dan yang bungsu bernama Maharaja Bunu (mengenai nama tiga kembar itu, pihak Majelis Agama Kaharingan, tidak menggunakan Maharaja, tapi Raja Sangiang, Raja Sangen dan Raja Bunu).
Nenek Moyang. Arkian tersebutlah Maharaja (Raja) Bunu atas ketentuan Ranying Hatalla diturunkan ke bumi (dunia) menjadi nenek moyang manusia (manusia Dayak Kalimantan Tengah). Di Bumi dipilih untuk tempat tinggal Maharaja (Raja) Bunu yakni Bukit Samatuan, dari situlah keturunannya menyebar mengisi muka bumi.Maharaja Bunu yang diturunkan ke bumi itu memakai kendaraan angkasa yang disebut dengan nama Palangka Bulau Lambayung Nyahu, nelun bulau namburak ije sambang garantung, secara singkat disebut Palangka Bulau saja.
Palangka Bulau dilengkapi dengan muatan bekal baik sarana dan segala keperluan hidup seperti semua perkakas/peralatan bercocok tanam, berburu, perkakas/ peralatan membuat senjata, bibit padi disebut parei-behas, behas parei nyangen tingang pulut lumpung penyang, bibit buah-buahan/tetumbuhan, bibit ternak/satwa.
Parei Behas (Padi Beras) yang merupakan bahan makanan pokok (nasi) sekaligus menjadi tambahan darah daging yang menghidupkan, dan beras (behas) juga dapat digunakan sebagai sarana secara ritual komunikasi (behas tawur).
1.      Palangka Bulau
 Palangka, dalam konteks kendaraan angkasa yang memang atas perintah Ranying Hatalla digunakan untuk “mengantar” Maharaja Bunu ke bumi adalah wahana besar (kendaraan besar), oleh Hardeland dikatakan : “Palangka, ein Gestell, fast in der Form einer Bestell, …ein Gestell vorn in einem Boote …. “ (Dr Aug. Hardeland : Dajack-Deutaches Worterbuch – 1859 halaman 401).
Sebagai wahana angkasa, maka berarti juga Palangka adalah wadah atau tempat, dan itu berarti adalah kata benda yang berdiri sendiri.

2.     Bulau,
Artinya emas. Dalam Bahasa Dayak Ngaju, emas, intan dan perak adalah logam mulia menjadi harta kekayaan yang tertinggi nilai nya yang disebut panatau panuhan, sedangkan emas, intan dan perak disebut singkat bulau salaka, artinya logam mulia yang sangat berharga yang tinggi nilainya.
Dalam konteks religi Suku Dayak Ngaju, sorga-loka atau sorgawi tempat tinggal terakhir kediaman manusia bersama Ranying Hatalla yang sangat suci, mulia dan besar. Oleh Hanteran digambarkan negeri sorgawi itu sebagai : habusung Intan, habaras Bulau, hakarangan Lamiang, maksudnya bahwa indahnya sorga itu tiada taranya, adanya kehidupan yang suci dan mulia di bawah naungan Ranying Hatalla (Tuhan Yang Maha Suci, Maha-esa dan Maha-kuasa, penuh kedamaian dan penuh Ke Agungan.
Keadaan dan suasana surgawi yang demikian disingkat dan disimpulkan sebagai hal RAYA, sebagaimana disebut oleh Hanteran.
Perkataan (entri) RAYA pada Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia disebutkan artinya : besar sekali, akbar (lihat Albert A.Bingan – Offeny A. Ibrahim: Kamus Dwibahasa Dayak Ngaju – Indonesia, cetakan ke-2 halaman 260).
3.     Palangka Bulau = Palangka Raya
Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah, Panitia Mencari Tempat dan Pemberian Nama Ibukota dan arahan pemikiran Gubernur Pembentuk Provinsi Kalimantan Tengah RTA Milono yang menetapkan nama PALANGKA RAYA bagi Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah.
Penulisannya terpisah, bukan digabungkan (bukan ditulis serangkai). Dan Ibukota Provinsi Kalimantan Tengah Palangka Raya dicantumkan pada pasal 2 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang penetapan UUDrt Nomor 10 Tahun 1957.
Memang pada ayat (1) pasal 2 UU No. 21 Tahun 1958 tertulis Palangkaraya, itu merupakan suatu friksi diuraikan kemudian di bawah nanti.
Dan dari semula penulisan nama Ibukota Kalimantan Tengah Palangka Raya, adalah ditulis terpisah, jadi bukan ditulis serangkai,


Tentang Tjilik Riwut
orang paling berjasa bagi Indonesia khususnya rakyat Kalimantan Tengah
       Tjilik Riwut salah satu ikon sejarah Indonesia, pelaku peristiwa sejarah yang memberikan andil perjuangan membela Republik Indonesia, tentang perjuangan menggalang Sumpah Setia Masyarakat Suku-suku Dayak sampai Pedalaman Rimba Raya Kalimantan kepada Pemerintah Republik Indonesia pada awal bangsa kita menegakkan kemerdekaan. Perjalanan sebuah misi Pemerintah Republik Indonesia yang waktu itu berpusat di Yogyakarta pada tahun 1946, dalam rangka upaya menyatukan Daerah Borneo (Kalimantan) berada di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Perjalanan Rombongan 11 Oetoesan Pemerintah Repoeblik Indonesia (ROPRI) ke pulau Kalimantan ditengah-tengah berkuasanya Pemerintahan Sipil NICA dan kekuatan bersenjatanya yang terkenal dengan KL dan KNIL waktu itu.
Beberapa ekspedisi dikirim ke Kalimantan, diantaranya adalah ROPRI II Pimpinan Mayor Tjilik Riwut yang bertujuan menghimpun badan*badan perjuangan, memberi penerangan kepada masyarakat Dayak di Kalimantan tentang arti dan makna kemerdekaan. juga membentuk satu kekuatan bersenjata berbentuk pasukan MN 1001 yang wilayah operasinya membentang di Kalimantan bagian Tengah hingga Selatan.
Tjilik Riwut sebagai pelaku sejarah adalah salah satu diantara putera Kalimantan lahir di desa Kasongan, Kalimantan Tengah bersama-sama teman seperjuangannya adalah generasi 1945, selain merantau ke pulau Jawa untuk menuntut ilmu, bersama beberapa pemuda militan waktu itu diterjunkan kepulau Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja terbentuk. Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas ini pada jamannya disebut sebagai kaum ekstrimis oleh pihak Belanda.
Misi diatas berhasil dilakukan dengan perjuangan dan tantangan yang berat menempuh medan yang sukar dibayangkan pada jaman ini, yaitu rimba belantara yang lebat, mengarungi laut dan sungai, melintasi riam-riam, dengan sarana transportasi tradisional seperti rakit dan perahu dan bahkan berjalan kaki. Perjuangan menyelusuri rimba belantara guna menghubungi suku-suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan berhasil menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.


#disadur dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar